Jumat, 16 Desember 2011



Husband's Note < 1> : Leader & Mate

Suami, adalah satu kata yang aku sandang sejak tanggal 2 Juli 2011, saat aku mempersunting kekasih hatiku, Mi. Kata itu yang kini melekat di diriku dengan segala properties yang menjadi kelengkapan dan konsekuensinya, yang saat aku berikrar dengan saksi Allah melalui perantara wali, para saksi dan penghulu takkan pernah sedetikpun akan aku tanggalkan di kemudian hari. Aku bersumpah dengan nama Allah bahwa dengan kata itu, aku akan memegang amanat yang terkandung di dalamnya sekuat hati, hingga akhir waktu nanti. Amin.

Semua orang yang normal pasti ingin menikah dan menyandang kata itu. Tapi apakah semua orang tau makna dari memakai kata itu?

Suami adalah pasangan istri. Itu pasti. Hanya itu kah? Tentu tidak kawan. Tentu tidak sesederhana penjelasan dalam kamus ataupun literatur. Berani menyandang kata suami berarti berani untuk menyandang kata ‘imam/pemimpin’ sekaligus ‘sahabat/kawan’ bagi pasangannya, istri.

Imam/pemimpin, adalah pengatur, pembimbing, pelindungi dan pencari nafkah untuk  anggota keluarganya. Dialah nahkoda sebuah kapal rumah tangga, sedang istri adalah navigatornya. Salah memutar kemudi maka salahlah tujuan hidup dari keluraga itu. Dialah pula yang menjadi tulang punggung keluarga utama, terkecuali jika nanti sudah saatnya tiba sang penerus2nya yang menggantikan. Kewajibannyalah untuk mengingatkan atau menasehati anggota keluarga terutama istri, sepahit apapun kondisinya, karena di akhirat nantilah amal  sebagai imam/pemimpin yang akan dimintai pertanggung jawaban langsung di hadapan Allah Subhanahuwataala.

Akan tetapi imam/pemimpin bukanlah diktator meskipun dia punya hak veto dalam keluarga. Tak ada orang yang suka menjadi bawahan pemimpin yang otoriter meskipun itu istri dan keluarga sendiri. Suami juga adalah seorang manusia, tidak kurang dan tidak lebih. Dengan segala kekurangan dan kekhilafan. Takkan pernah ada pemimpin yang sempurna kecuali Nabi Muhammad Salallahualaihi wassalam.

Jadi  sebagai pemimpin dan imam yang baik, menurutku baik pula jika kita menjadi sahabat buat istri kita, dimana dia bisa berkeluh kesah, dimana kita bisa mengerti kesulitan dia, dimana kita juga harus belajar dan bersabar dan menahan diri.  Dan pada akhirnya kita bisa mengambil keputusan yang tidak otoriter atau maunya menang sendiri. Karena sudah di-rembug bersama. Ya karena buat kebutuhan bersama, masa iya mau diputusin sendiri.Tapi ketegasan dan sedikit otoriter itu perlu untuk point-point tertentu yang prinsipal untuk ditegakkan dan tidak bisa ditolerir, misalnya masalah ibadah.

Seorang sahabat itu ada di saat diperlukan, tentunya jangan mengambil artian akan selalu ada dalam arti fisik, kalau kondisinya jauh seperti yang aku alami sekarang ya susah, Long Distance Relationship. Menurut pengertianku sebagai suami yang baru belajar, bahwa menjadi sahabat yang selalu ada untuk istri mungkin adalah bisa ikut merasakan di saat suka dan dukanya, meskipun itu hanya lewat telepon, sms, email,  dll. Dalam artian istri kita merasa nyaaman untuk berbicara dengan kita walapun semua serba terbatats waktu dan tempat. Waktu yang sedikit diupayakan seoptimal mungkin. Memang tidak mudah loh kalau cuma diucapkan saja, karena masing-masing insan meskipun sudah bertatus suami-istri pasti ada saja yang berbeda, entah itu egonya, keinginannya, kekeras-kepalaanya, pertimbangannya, kondisi lingkungan dsb. Hal itu lah yang harus dipahami dengan benar.

Aku masih belajar dan terus belajar, karena sejauh ini masih banyak hal yang perlu disempurnakan. Mungkin tidak akan pernah sempurna tapi setidaknya mau dan mampu untuk berusaha yang lebih baik setiap harinya, dimana saja dan kapan saja.

Pi
*) Good person is a learner, who always try to do things better everytime, everywhere.

Check this link : 15 ciri calon suami yang baik 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar