Batam,
Pulau kecil yang berbatasan langsung dengan Negara
Singapura ini adalah tempat yang harus aku tinggali selama sebulan kemarin.
Why? Karena aku harus training di lokasi tersebut.Agak tidak biasa memang tempat training ku kali ini. Biasanya paling jauh Jakarta, Bandung ataupun jogja. Tetapi apapun itu tetap harus dijalani juga. Terlebih karena belum pernah, jadi menambah rasa penasaran seperti apa pulau ini. Tapi sangat disayangkan karena beberapa hal, istri dan anak-anakku gak bisa ikut ke Batam, dan itu jadi sangat berat buat kami untuk berpisah selama 1 bulan. Maaf ya Mami, kaka n ade, laen kali kita maen sendiri ya ke tempat yang lebih bagus hehehe.
Perjalanan dimulai dari Jakarta, karena aku memang
biasa menginap di rumah mertua / om-ku kalau ada acara di Jakarta. Aku
berangkat dari bandara Cengkareng menuju ke bandara Hang Nadim Batam selama
kurang lebih 1 jam 45 menit. Perjalanan relatif mulus, walau sempat ada
beberapa kali turbulensi karena cuaca yang agak berawan. Tetapi Alhamdulillah
sampai dengan selamat.
Ini penampakan bandara Hang Nadim Batam :
Sampai di bandara aku harus menunggu temen sekantor
yang juga training tetapi beda pesawat. Ditambah lagi di pesawat yang dia
tumpangi sedang ada masalah pengambilan barang bagasi. Ternyata banyak bagasi
yang tertinggal di bandara pemberangkatan karena overload jadi harus diantar
penerbangan berikutnya (weleh2… ada ada aja ya). Sekitar 1 jam kita menunggu di
bandara.
Setelah itu kita naik taxi menuju ke hotel di daerah
Sukajadi. Karena sifat training yang residential, kita ikut aja hotel mana yang
ditunjuk oleh kantor pusat.
Di perjalanan, kita sempat mengobrol dengan driver
& melihat jalanan kota Batam. Secara sekilas jalanan kota Batam relatif bagus
dan besar. Tetapi yang membuatku agak heran, semua tanah di hampir sepanjang
perjalanan adalah tanah kapur. Mirip seperti di daerah Gunung Kidul Yogyakarta
atau daerah Pacitan Jawa Timur. Terlihat gersang walaupun banyak tanaman hijau yang
tumbuh.
Menurut informasi yang aku baca di Koran, karena
sedang ada efek badai El Nino yang melanda Indonesia, menyebabkan kemarau dan
udara kering karena debit air hujan berkurang drastis. Apalagi Batam sangat
mengandalkan curah hujan untuk mengisi dam-dam / danau buatan untuk mencukupi
kebutuhan air sehari-hari warganya. Beberapa hari setelah di Batam, dam-dam
yang biasa dilewati terlihat mulai mengering dan terjadi pendangkalan. Dan
terlihat spanduk / baliho yang menganjurkan untuk melakukan penghematan air
(mengenaskan cuy). Aku sih berpikir, kenapa gak membuat unit desalinasi /
pemurnian air laut menjadi air tawar kalo memang masalah tersebut sudah
bertahun-tahun ya. Padahal Batam adalah daerah industri yang ternyata setelah
aku cek & informasi dari instruktur termasuk industri kaliber besar &
internasional dibanding kota-kota industri lain di Indonesia. Cukup aneh
buatku. Padahal Singapura juga telah mengadop teknologi tersebut untuk
permasalahan yang sama. Why Different? I Don’t Know.
Dan semakin dilihat ada hal lain lagi yang cukup aneh
disini, yaitu cukup jauhnya spot satu lokasi / komplek perumahan / pertokoan
antara satu sama lain, sehingga seperti terasa banyak lahan“ kosong”. Dan yang
unik lagi, sebagian besar bangunan disini berupa Ruko (rumah Toko).
Menurut informasi dari driver & beberpa orang
yang aku ajak ngobrol setelah beberapa hari di Batam, ternyata semenjak
beberapa tahun terakhir Batam memiliki semacam “dualisme” pemerintahan. Yaitu
oleh Otorita Batam & Pemkot Batam. Dulunya Batam diatur oleh Otorita Batam
saja, karena sepertinya memang dulu (jaman Presidennya Bp. Habibie kalo gak
salah denger) Batam itu diplot sebagai daerah otonomi dikarenakan lokasinya
yang sangat strategis dan terletak di jalur internasional perdagangan &
transit. Selain itu Batam dikondisikan untuk dapat menyaingi Singapura dalam
hal industri & perdagangan.
Sebelumnya aku tahu Batam itu memang daerahnya yang
free tax (bea cukai) sehingga barang-barang import bisa mudah masuk dengan harga
yang lumayan jauh berbeda dengan harga pasaran, dengan kualitas yang bagus
(hehehe memang bener si ternyata). Bahkan menjurus ke black market. Salah
satunya itu disebabkan karena aturan dari Otorita Batam. Dan kalo menurut
driver tersebut, sisitem itu lebih disukai karena gak ribet masalah birokrasi /
perijinan untuk mengurus apa2nya. Serta dengan kebijakan otonomi itu, Batam
jauh lebih berkembang.
Tetapi entah kenapa, semenjak beberapa tahun
terakhir, mulai diberlakukan aturan Pemerintahan Kota (Pemkot) seperti di
daerah lainnya tapi tidak menghilangkan kewenangan Otorita Batam. Jadi terkesan
timbul dualisme pemerintahan.
Timbulah permasalahan baru, salah satunya adalah
dihapuskannya beberapa aturan mengenai free tax tadi, jadi harga jadi tidak
bisa relatif murah lagi (entah pengawasan peraturan ini seperti apa aku gak
ngerti karena di daerah lucky plaza yang merupakan sentra elektronik, sepertinyaharga barang masih relatif murah dibanding daerah
lain).
Masalah lain adalah masalah kepemilikan tanah. Jadi
di Batam sekarang sulit untuk membeli tanah untuk jadi hak milik, bahkan
mungkin gak boleh, yang boleh hanya hak guna bangunan (atau dengan kata lain
sewa lahan). Perijinannya pun berbelit dan harus melewati 2 badan tadi (Otorita
& pemkot). Jadi andai dari pemkot memperoleh ijin, belum tentu otorita akan
mengeluarkan ijin, dan menurut UU Otorita (aku belum cek juga si bener atau
gak) memang diperbolehkan untuk menggusur lahan sewaktu waktu seandainya dari
pihak otorita ingin mempergunakan lahan untuk kepentingan mereka. Jadi
kebanyakan sekarang ini orang hanya punya ijin sewa saja. Itulah yang
menyebabkan banyaknya Ruko di Batam ini.
Bahkan Driver juga bilang kalau Batam ini adalah kota
1000 Ruko, saking banyaknya Ruko yang dibuat untuk berbagai keperluan, misal
Toko, supermarket, rental, agen perjalanan / industry, kantor pemasaran, tempat
tinggal, tempat kursus / training bahkan hotel. Dan dua fungsi terakhir itulah
yang ternyata harus aku alami selama sebulan. Kok bisa?
Lanjut ke Part
2 ….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar